Lanjutan

Menangis, karena rindu.

Aku yakin, hampir semua santri pasti pernah merasakannya minimal sekali, walaupun dia seorang laki-laki. Hal itu sudah ku buktikan dengan bertanya kepada teman-teman ku saat kelas 12 akhir. Ya, termasuk aku. 

Berada di luar zona nyaman membuat kita belajar untuk survive, bertahan, dan beradaptasi dengan hal baru. Mengenal banyak teman dan guru dari berbagai daerah mengajari ku tentang adab, bergaul, sikap. dan cara berbicara. Tahun pertama, kami dikumpulkan di kamar Daarul Hufadz. Ada yang dari Makassar, Kalimantan, Riau, Jakarta, Karawang, Bekasi, tentu saja Bandung dan masih banyak lagi. 

"Itu bakal jadi keluarga baru ekal sampai lulus nanti, karena bakal tinggal bareng, tidur bareng, belajar bareng." kata Ayah ku saat sebelum kami berpamitan dibalik kaca mobil. 

Masa orientasi disekolah kami sangat unik dan berkesan, kita sebut itu diklat dengan waktu selama seminggu. Hal yang paling terkenang adalah botak habis dan hutan. Selama di hutan nanti ada satu malam kita akan tidur sendirian dengan ponco sebagai tenda, matras sebagai alas, dan sisanya perbekalan kita sendiri. Tenda itu kita yang bangun sendiri dan diberi waktu dari sore, harus cepat karena jika terlambat maka mentari terbenam dan kita tidak akan memiliki cahaya kecuali lilin. Bagaimana jika tenda ponco itu tidak bisa didirikan? Ada beberapa santri yang teriak "medis" atau "syifa". Ceritanya mendadak sakit. :) 

Singkatnya, dari matahari terbenam hingga besok pagi kita akan bertahan sendiri dengan cahaya lilin. Kita dikasih 1 kertas yang harus dibaca dan ditulis saat tahajud nanti. Apa yang aku lakukan?

Maghrib sampai Isya bertahan ditenda  bermain lilin. Abis isya datang kakak kelas memberi makan. Disitu kita tidak dibolehkan memakai jam atau pun senter. Jadi hanya suara adzan dari panitia yang kami dengar. Malam tiba dan aku harus rebutan makanan dengan hewan seperti tikus. Hujan rintik datang, serangga perlahan datang masuk  dari ponco. Bukan makhluk halus yang ku khawatirkan, tapi katanya babi hutan suka datang. Repot sekali bila harus rebutan makanan dengan babi hutan. Namun, tidak perlu takut, sebab ustad mau pun kakak panitia selalu mengingatkan akan bekal dzikir yang diberikan kepada kami, hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir “Cukuplah Allah sebagai tempat diri bagi kami, sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong kami.” dan A’udzu bikalimatillahittammati min syarri maa khalaq “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakanNya”. Hingga larut malam aku hanya bermain lilin hingga akhirnya terlelap, tidak lupa tiup lilin dulu, huh. 


Waktunya tiba, aku tidak paham pukul berapa saat aku terbangun, yang jelas itu saat yang tepat untuk qiyamul lail dan mengerjakan kertas. Katanya tidak boleh dibuka hingga saat itu. Setelah ku buka, itu adalah kertas yang berisi muhasabah pesan kita untuk orang tua, Allah, dan diri sendiri. Ini malam terakhir aku orientasi, esok kami akan dilantik disaksikan kedua orang tua. Air mata ku mengalir. Tersadar betapa rindunya aku, setelah seminggu ditempa. Betapa nyamannya hidup ku selama ini setelah ditempa waktu dan kegiatan. Ratusan push up telah kami lakukan untuk menjadi muslim yang kuat. Satu ilmu yang paling berharga yang diajarkan oleh sekolah ku, pasti ada hikmah dari setiap kejadian. Bersyukur. Aku isi kertas itu penuh, mata ku tak mampu lagi membendung tangisan.

Setelah subuh, suara sirine datang. Itu tanda kami harus berkumpul. Berkumpul untuk bermain dengan lumpur dan sengatan udara dingin. 

Kami pulang, dengan lumpur yang mengering menghiasi pakaian dan muka. Ku lihat banyak orang tua murid menanti kedatangan anaknya, menyambut, dan bersorak. Sedikit bangga dengan tampilan seperti ini. Usai diresmikan jadi santri, kami disiram dengan selang pemadam kebakaran sebagai simbolis. Setelah selesai, kami diminta temui orang tua dan bacakan kertas yang kami kerjakan saat malam tadi. Here we go, disitu ada ayah, mamah, kakak, dan nini. Banyak teman-teman ku yang tidak membacakannya, kertasnya hancur, ada yang ketiduran atau pun lupa mengerjakan. Aku memilih untuk membacakannya.

Lagi lagi, aku menangis. Ku lihat mamah menangis. Disitu ayah meminta kertas aku untuk disimpan, hingga saat ini aku tak tahu dimana ayah menyimpan itu. Yang terpenting, mereka telah mendengar suara hati ku, itu lebih dari cukup karena ternyata, itu tahun pertama dan terakhir aku pesantren di dampingi seorang ayah.

Teknisnya, aku akan menelpon ayah mamah setiap seminggu sekali menggunakan hp asrama atau pun hp ustad dengan durasi paling lama 1 jam(lama) hehe. Ya, karena kami tidak diperbolehkan menggunakan hp sendiri sampai libur panjang nanti. Biasanya, aku akan bercerita tentang seminggu itu, diskusi, dan berbagi ilmu-ilmu baru. Besok-besoknya aku sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini, hingga aku sempat asik dengan dunia baru dan jadwal nelpon ku tidak sesuai rencana. Ayah mendalami apa yang aku pelajari, hingga terus membantu ku dengan menjelaskan teorinya, membeli alat baru yang berguna, apa pun yang membuat aku nyaman dan semangat. 

..

Cerita soal pesantren, ada saatnya jenuh dan bosan menghampiri. Kata ayah, kalau jenuh, menulis aja. Saat itu aku punya satu buku yang berisi tulisan-tulisan selama aku tinggal disana. Puisi, cerita, kata-kata bagus dari buku, target, ilmu-ilmu baru, schedule, hingga gambar-gambar tidak jelas. Ternyata benar, menulis disaat jenuh, sendu, atau pun rindu menjadi paduan yang tepat dalam merangkai kata-kata. Isi hati ku seakan mengalir melalui tinta hingga menjadikan kertas sebagai tempat bermuara. Ada satu buku khusus yang ku bedakan pada tahun kedua, buku tentang ayah, yang ku tulis karena rindu kepadanya, ku tulis hingga larut malam, penuh penghayatan dan sangat sulit untuk dituliskan ulang. Sayangnya, buku itu hilang entah kemana.

Disaat aku buntu, aku memilih untuk membaca buku. Awalnya aku tidak begitu minat, tapi satu kamar gemar sekali membaca buku. Sampai-sampai topik pembicaraan di kamar pasti soal buku atau pun novel-novel. Hingga sampai lah novel Tere Liye ditangan ku, Hujan, Pulang, Pergi, Rindu, Bumi, Bulan, Matahari, Bintang dan masih banyak lagi. Namun, novel yang paling aku suka adalah karya-karyanya Habiburrahman El Shirazy. Cerita romantisnya hidup dengan balutan ilmu keislaman yang amat dalam. Pinjam meminjam dan rebutan novel sering sekali terjadi, terbesit dihati aku ingin sekali menerbitkan satu buku, minimal satu saja dalam seumur hidup ku. Ada satu waktu aku membawa buku "Merah Putih di Old Trafford", ku baca ulang. Hebat sekali sosok pemuda dibuku itu, bermimpi tinggi sejak kecil hingga benar-benar terwujud menjadi pemain professional dan menjadi pemain tim nasional. Novel itu tergilir hingga ke kamar lain, entah lah dimana keberadaan novel itu saat ini.

..

Tahun pertama disana, adalah titik balik kehidupan ku. Belum genap setahun, ayah dipanggil. Ramadhan hadir tanpa jasadnya, tapi sosoknya hadir dihatiku. Sebelum itu, aku punya kenangan indah tahun terakhir bersamanya, tentang bulan Oktober, 212, dan Malang. Sebelum perpisahan. 

..
Senang bisa menulis kembali, setengah hari ini, di suatu kafe jakarta, ku habiskan untuk menulis yang banyak untuk cerita berikutnya. Maaf sekali teman-teman telah menunggu ku selama kurang lebih 2 tahun. :)

Ada yang mengirim email, memberi pesan di dm, hingga comment di blog, terima kasih buat kalian yang telah menunggu dan setia menjadi pembaca, semoga hari ini dan esok menjadi hari yang cerah untuk ku agar bisa menuliskan kembali. Blog ini ku persembahkan untuk hati dan perasaan, agar tidak sia-sia dan terus belajar dalam menghadapi sakitnya luka dan duka dunia. Tentu, untuk kalian para pembaca setia. 





Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer