Kepulangan (Draft Panjang)
Hari itu bumi dikejutkan dengan berita pandemi yang menyebar luas keseluruh dunia, bahkan Indonesia. Wajah-wajah anak SMA pada teman-teman ku masih berseri tanpa ketakutan apapun. Mengapa? karena bagi anak sekolahan seperti kami yang berpikir dangkal, itu adalah kabar gembira, Potensi UN ditiadakan dan kita libur pulang kerumah sampai lulus. Aku masih ingat detik demi detik hari terakhir menunggu keputusan kepulangan darurat kami. Menunggu, antara dipulangkan atau tidak, beberapa teman ku menunjukan platform yang sedang viral dengan trend-trend videonya, ya, 2020 adalah pertama kalinya aku diperkenalkan dengan tiktok. Gelak tawa memenuhi seisi kamar ketika seluruhnya tertuju pada video lucu di tiktok, dengan menggunakan hp teman ku yang diam-diam disembunyikan agar tidak ketahuan oleh ustad.
Malam harinya tepat pukul 22.00 ustad ku mematikan lampu asrama, Sudah jam tidur.
"Jadi inget kal, si F bukannya malem balik tidur di kamar malah milih tidur di box laundry!" Alih-alih memejamkan mata kami, gelak tawa justru meramaikan heningnya malam.
"Belom lagi si Q niat-niat print google maps cuma buat jalan kaki ke bandara." Kita memang tertidur di kasur masing-masing, tetapi obrolan dan celetukan canda kami terus bersautan satu sama lain. Ustad ku pun dibuat ikut menyaut canda tawa kami.
"Kita kalau lulus udah ga bisa ngobrol gini lagi loh. A nanti ke Riau, B nanti ke Makassar, C nanti ke Kalimantan, dan seterusnya" ucap seorang temen ku. Sejak malam itu aku sudah mengetahui bahwa saat itu adalah salah satu hari-hari terbaik dalam hidup ku, yang akan ku rindukan.
Kepulangan bukan lagi menjadi suatu hal yang ku tunggu. Bagi ku, kemana pun aku melangkah akan menemukan rumah dan keluarga baru. Pesantren mengajarkan ku tentang keluarga baru sejak ayah dan nini meninggal. Aku pulang, berarti aku akan berpisah dengan keluarga lain. Keputusannya sudah bulat, seluruh siswa akan dipulangkan esok pagi.
Menghirup udara detik demi detik kepulangan setelah 4 tahun menuntut ilmu, adalah hal yang aneh bagi ku. Pagi itu mentari seperti biasa bersembunyi dibalik pegunungan. Awan dan kabut menghalangi pemandangan kota. Aku dan beberapa teman ku memutuskan untuk menyaksikan terbit mentari dari suatu tempat favorit setelah kami sholat subuh dan dzikir bersama di masjid. Canda demi canda tak ada hentinya sampai kami memilih untuk kembali ke asrama. Barang demi barang dirapihkan perlahan. Turunkan koper yang sudah berdebu dari atas lemari dan juga dibawah kasur. Satu dua orang mulai berpamitan. Ayah ibunya datang menjemput. Sang adik dari teman juga dikenalkan kepada kami, bermain bersama di kamar. Hingga asrama 4 lantai itu sepi akan teriakan dan candaan. Mentari menyapa jendela asrama, aku memilih berjalan sejanak menyapa beberapa kawan dilantai yang berbeda dan juga memilih menyaksikan kepulangan anak-anak SMP gedung sebelah sembari menunggu jemputan ku datang. Semua adalah pemandangan yang membuat ku menangis. Entah berapa keluarga telah ku saksikan datang.
Aku tidak bersedih, mungkin ini haru yang menyelimuti perjuangan ku selama 4 tahun. Aku masih ingat letak ketika ayah dan kedua kakak ku makan cuangki untuk pertama dan terakhir kalinya mengantarkan ku pesantren secara fullteam. Aku masih ingat letak ketika mamah dan aa datang memberikan kejutan tapi justru dihampiri oleh puluhan santri yang ingin meminta tanda tangan di baju,bahkan bantal tidur. Aku masih ingat letak tempat dimana kakak ku datang memberikan makanan dan snack dengan menggunakan dua tongkat setelah operasi. Hari ini sudah selesai, tidak akan ada lagi cerita yang serupa.
"Ekal, ekal!" suara yang sangat aku kenal menghentikan lamunan ku. Aku keluar dari kamar dan melihat wajah yang berseri dengan hp yang sudah standby untuk video di tangan kirinya. Itu mamah ku. Tangan kanannya melambai, aku balas menghampiri dan memeluknya. Akhirnya, aku pulang kepelukan mamah.
Mamah menemani ku bernostalgia. Berjalan kesetiap sudut pesantren, kamar, gedung sekolah, lapangan futsal, semua mamah rekam dan simpan pada hpnya. Akhirnya, fotografer ku kembali.
Perjalanan berdua dengan mamah selalu menjadi cerita yang begitu unik bagi ku. Dua manusia moodyan dengan tingkat ekspresif yang begitu tinggi. Bayangkan bila mamah sedang pms dan aku ikut bete. Seringkali kita berselisih kecil dan beradu argument, tapi kita juga cepat sekali memaafkan. Kita adalah dua manusia yang bawel dengan tingkat diskusi random yang juga tinggi. Apapun topik obrolan yang aku tawarkan tentu dengan mudah mamah sambut. Mulai hari ini, kebawelan dan perjuangan kami masih akan berlanjut. Perjuangan mencari universitas untuk diri ku, karena tes masuk melalui SBMPTN adalah yang paling mungkin didepan mata. Beberapa bulan lalu telah kami tempuh tes masuk universitas swasta, dimana hal itu dilakukan secara offline. Mamah menemani ku ke Yogyakarta hanya untuk melakukan ujian masuk. Aku tidak menyadarinya jika mulai hari ini kita akan lakukan semuanya dirumah, semua akan diakhiri dengan kalimat from home. Pandemi menuntut kita untuk menetap dirumah masing-masing. Tidak berpikir lama, dari Bandung kami langsung pulang ke ibu kota, Jakarta.
Sepak bola dihentikan sampai waktu yang belum dapat ditentukan. Begitulah pengumuman penting dan sedikit mengecewakan ku pada saat aku pulang dari pesantren. Selama 4 tahun aku tidak pernah bebas menonton aa di tv(karena jadwal padat pesantren), ketika aku pulang bahkan tidak bisa pula menontonnya. Nasib. Akan tetapi tidak menjadi masalah, pengumuman baik selanjutnya adalah: Aa pulang ke rumah. Pada akhirnya semua lengkap, aku, mamah, aa, kakak, akan berkumpul dirumah dalam waktu yang belum dapat ditentukan. Semua kisah lama akan terulang lagi, canda tawa, keusilan, pertengkeran, rebutan makanan. Ternyata benar-benar bisa terulang.
Peluk hangat mengawali pertemuan kami, sekiranya hal itu tidak asing bagi kami, tidak pula gengsi, terkecuali mencium pipi. Urutannya begini: mamah tentu akan cium pipi setiap anaknya dan kita akan menerima, aa tidak gengsi mencium pipi ku(itu kebiasaan lamanya) walau aku menolak, aku jelas akan memaksa mencium pipi kedua kakak ku(pasti ditolak), dan terakhir kakak akan mencium pipi aa(jelas sangat gengsi dan menolak keras, menampar jika harus dilakukan).
Cerita demi cerita saling bersautan diantara kami. Aa bercerita tentang dunia sepak bola indonesia, kakak bercerita tentang dunia perkuliahan dan permagangan, dan aku bercerita tentang dunia pesantren. Kami saling bertukar informasi dan saling mempelajari satu sama lain. Berdiskusi adalah kebiasan penting yang sejak dulu ayah ajarkan. Tidak menutup kemungkinan terdengar suara isak tangis ketika kami berempat sedang berdiskusi, ya, tangisan seorang ibu yang melihat anak-anaknya tumbuh dewasa tanpa pasangan, alias janda(maaf frontal). Ketika saat itu tiba, kami akan tertawa dan memeluknya, sembari berkata "parah lu mamah nangis! parah banget!". Pelukan kita bertiga bermuara pada mamah. Sembari mendengarkan curhat dan harunya mamah dengan perjuangan ayah yang membangun keluarga ku, keluarga Sjahbandi.
Mamah mencoba membangun rutinitas dan peraturan baru kepada kami setelah sekian lama tidak berkumpul bersama dan saat pandemi, yaitu sholat berjama'ah di rumah. Urutannya sederhana, kita akan bergantian menjadi imam, semua harus kebagian menjadi imam disetiap harinya. Oleh karenanya, tidak heran kita rebutan tempat dibelakang sajadah imam atau ambil wudhu duluan jika tidak ingin menjadi imam. Tidak dapat dipungkiri kita bertengkar hahaha, ketika kita harus itung-itungan jumlah memimpin imam pada hari itu ketika akan sholat isya, perlahan kita dorong-dorongan dan salah satunya harus mengalah.
Sholat subuh menjadi hal yang menarik jika harus ku ingat, setelah sholat peraturannya adalah imam harus memimpin dzikir dan membacakan doa, selanjutnya kita akan tadarus Qur'an bergantian dengan 1 halaman setiap orangnya. Gelak tawa seringkali terjadi dipertengahan tadarus, ketika melihat aa ku tertidur kemudian berpura-pura baca Quran. Belum lagi ketika masing-masing kita harus menahan tawa sambil memimpin doa karena segala jenis keusilan kami. Sekiranya itu lah hikmah dibalik pandemi pada keluarga ku.
-bersambung
Komentar
Posting Komentar