Ketika Hidup Tidak Lagi Sesuai Keinginan
Akhirnya, kenyataan menunjukan arah jalan yang begitu asing. Asing dari penglihatan, perasaan, dan pengharapan. Jika memang hal itu terjadi, menurut ku tidak apa bila tubuh dan jiwa memberikan reaksi yang tak terkira. Tak perlu lagi menahan air mata, walaupun kamu laki-laki. Tak perlu benci terhadap amarah bila kamu ingin berteriak dalam diam. Tak perlu gengsi untuk mengakui segala rasa sesak di dada. Ini lah kenyataannya dan, biarkan jiwa mu bersua.
Karena hari ini, dan mulai besok hari, Tuhan yang akan mengambil arah dan langkah kehidupan. Sesekali tak perlu sekuat itu menggenggam erat tali kehidupan. Biar kita paham berapa porsi kemampuan yang seharusnya kita berikan.
Jika kamu tak pernah hidup sendiri selama hidup ini, tidak ada salahnya mencobanya--bungkam sendiri tentang cerita sakit dan beratnya kehidupan. Jika kamu selalu merasa ada ayah/ibu, kaka, teman, yang selalu menolong mu, sesekali mencoba menolong mereka tanpa perlu meminta bantuan siapa pun. Kenyataannya, kita sekuat itu berjalan sendiri dan memang kuat.
Usia dewasa mengajarkan ku bahwa kelemahan bukan terukur hanya dari tetesan air mata, tapi kelemahan akan terukur dari output dan arah langkah yang dilakukan setelah kita menangis/terluka/sedih/kecewa. Lemah ketika akhirnya kita berdiri pada garis keburukan, berjalan kearah negatif dan memperdaya diri sendiri. Kuat adalah ketika kita memilih untuk tetap berusaha menjadi sosok manusia yang baik, walau kita pernah buruk, walau kita hanya berjalan sendiri.
Kenyataannya adalah: kita tidak memerlukan kepercayaan dan dukungan orang sekitar, yang kita perlukan adalah rasa percaya yang datang dari diri sendiri. Berikan seribu satu alasan mengapa hikayat dan pesan moral agama berpesan untuk menolak menaruh harapan pada manusia, kita akan menemukan dan sepakat akan garis besar alasannya. Ketidaksempurnaan selalu melekat pada manusia, dan rasa sakit akan selalu menanggung kekurangannya.
Kecewa tidak melulu tentang hubungan manusia, tapi juga tentang kenyataan, harapan, dan kegagalan. Kesalahan bidik membidik 'alasan' menjadi suatu kerumitan yang menyesakkan. Siapa kah yang salah? Intuisi kadangkala menunjuk diri sendiri, dunia, atau bahkan tanpa segan menunjuk Tuhan yang bersalah.
Ingat, kita akan selalu bertumbuh. Tidak selamanya kita menjadi remaja. Kita akan memberikan reaksi yang berbeda terhadap kejadian yang sama dalam jarak waktu yang tidak berdekatan. Dahulu mungkin kita pernah membenci sesuatu yang ternyata kita syukuri hari ini. Suatu hari nanti, mungkin kita akan menyesal, atau bahagia atas kejadian hari ini.
Komentar
Posting Komentar